adsense

Friday, March 20, 2015

"The Praying Hands" diambil dari sebuah kisah nyata

The Praying Hands
Di sekitar abad duapuluhan, disebuah desa kecil di dekat Nuremberg, hiduplah sebuah keluarga dengan ke delapanbelas anaknya. Ya, delapan belas. Dalam usahanya untuk menghidupi ke-delapan belas anaknya, sang ayah yang berprofesi sebagai tukang emas, selalu bekerja lebih dari delapan belas jam setiap harinya di tempat kerjanya ditambah dengan bekerja serabutan membantu tetanga-tetanganya dengan upah yang seadanya. Disamping kondisi keluarganya yang tampaknya sudah tidak dapat tertolong lagi, kedua anak sulung dari sang ayah memiliki sebuah mimpi. Mereka ingin mengejar bakatnya di bidang seni, tetapi mereka menyadari bahwa ayahnya tidak akan mampu membiayai pendidikan mereka ke sebuah Akademi di kota Nuremberg.


Setelah melewati diskusi yang panjang di tempat tidurnya yang reyot, kedua anak itu akhirnya menyepakati sesuatu. Mereka akan menentukannya dengan lemparan koin. Yang kalah akan bekerja di tambang terdekat dan dengan hasil kerjanya, digunakan untuk membiayai saudaranya yang bersekolah di Akademi. Kemudian, setelah yang menang berhasil menyelesaikan sekolahnya, dia akan membiayai yang kalah untuk bersekolah, apakah itu dengan menjual hasil karya seninya, ataupun dengan turun dan bekerja di tambang.

Mereka melemparkan koin pada saat hari minggu setelah pulang dari gereja. Albrecht Durer memenangkan  lemparan koin itu dan pergi ke Nuremberg. Albert turun ke tambang emas yang berbahaya, dan selama empat tahun, dia membiayai saudaranya, yang belajar di akademi dengan segenap kemampuannya. Seketsa, Pahatan, dan kemampuan seni Albrecht Durer di akademi sangat mengagumkan, bahkan melebihi profesornya di akademi. Pada saat Albrecht Durer lulus sekolah Akademi, dia telah mendapatkan uang dari hasil menjual karya-karya nya.


Ketika Albrecht Durerkembali ke desanya, keluarga Durer mangadakan pesta makan malam penyambutan di halam rumah. Setelah makan malam panjang yang penuh dengan keceriaan, diiringi dengan musik dan canda tawa, Albrecht Durer berdiri dan mengajak bersulang sebagai tanda terima kasihnya kepada Albert, saudara laki-lakinya, atas pengorbanan yang membuat Albrecht Durer mampu mewujudkan mimpinya. Sebagai penutup, kata - kata Albrecht Durer adalah,"Dan sekarang, Albert, saudaraku tercinta, sekarang adalah giliranmu. Sekarang kamu dapat pergi ke Nuremberg dan mengejar minpimu, dan saya akan menjagamu."

Semua wajah memandang ke arah Albert, air mata mengalir di wajahnya yang pucat, menggelengkan kepalanya yang setengah menunduk, dia menjawab,"Tidak,..tidak,..tidak."

Sampai akhirnya Albert mengangkat kepalanya yang tertunduk, menyeka air matanya.  Dia memandang ke arah meja, kemudian ke arah para saudara-saudaanya yang sangat dia cintai dan berkata,"Tidak, saudaraku, saya tidak dapat pergi ke Nuremberg. Sudah terlambat bagiku. Lihatlah,.. lihatlah apa yang terjadi pada kedua tanganku setelah bekerja di pertambangan! Semua tulang-tulang jariku telah rusak terkena pukulan palu, dan akhir-akhir ini aku menderita arthritis (kelainan pada persendian) di jari-jariku, sanggat parah di tangan kanan ku, sehingga aku bahkan tidak dapat mengangkat gelas untuk membalas sulang-mu barusan, paling tidak, sudah merupakan hal yang mustahil bagiku untuk mengamar sebuah garis lurus di sebuah kanvas dengan menggunakan pena atau kuas. Tidak saudaraku, bagiku, itu sudah terlambat."

More than 450 years have passed. By now, Albrecht Durer’s hundreds of masterful portraits, pen and silver-point sketches, watercolors, charcoals, woodcuts, and copper engravings hang in every great museum in the world, but the odds are great that you, like most people, are familiar with only one of Albrecht Durer’s works. More than merely being familiar with it, you very well may have a reproduction hanging in your home or office.

450 tahun lebih telah berlalu. Sekarang, ratusan karya Albrecht Durer terpampang di setiap museum-museum terkenal di dunia.
















 *gambar di atas merupakan contoh karya-karya Albrecht Durer

Salah satu karyanya, sebagai perwujudan rasa terimakasih yang sangat mendalam atas pengorbanan saudaranya, Albert. Albrecht Durer membuat lukisan bergambar sebuah tangan yang cacat, dengan jari-jari yang kurus menengadah ke arah langit. Dia menamai karyanya itu dengan semuah nama yang sederhana "Hands". Namun seluuh dunia terketuk hatinya akan kisah Albrecht Durer dan sudaranya, Albert, dan merubah namanya menjadi "The Praying Hands"

Moral : Dibalik suatu kesuksesan, pasti terdapat seseorang yang membantunya. Baik Dalam bentuk dukungan moral, finansial, ataupun doa.

No comments:

Post a Comment

Pacitan Tourism