adsense

Thursday, March 26, 2015

Sampai Maut memisahkan Kita

Pada suatu malam ketika aku pulang kerumah, istriku sedang menyiapkan makan malam untukku. Saya memegang tanggannya dan berkata,"Ada sesuatu yang ingin aku katakan." Lalu aku memandang matanya. Terasa berat untuk mengatakannya, tetapi istriku harus tahu apa yang sedang aku pikirkan. "Aku ingin bercerai." Saya mecoba mengatakannya dengan setenang mungkin.

Istriku tidak terlihat marah atas perkataanku, malah dia bertanya "Kenapa?". Tetapi aku mengalihkan topik pembicaraan dan menghindar ketika dia mencoba menanyakan alasanku ingin bercerai darinya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempear sendok yang sedang dipegangnya dan berteriak padaku.,"Kamu bukan Laki-laki!" kata istriku.

Malam itu kami tidak saling bicara. Istriku menangis, aku tahu bahwa dia sangat ingin mengetahui alasanku meminta perceraian. Tetapi aku tidak akan bisa memberinya jawaban yang memuaskan; aku mencintai Jane. Aku tidak lagi mencintai istriku. Aku kasihan padanya!

Dengan penuh rasa bersalah, aku membuat surat perceraian yang menyatakan bahwa istriku dapat memiliki rumahku, mobil, dan 30% perusahaanku. Dia membacanya dan merobek-robek kertas itu. Perempuan yang telah hidup bersamaku selama 10 itu telah menjadi orang asing bagiku. Aku sungguh menyesal atas waktunya yang terbuang, atas apa yang telah dia lakukan untukku selama ini, tetapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku katakan bahwa aku sangat mencintai Jane. Akhirnya Istriku menangis dengan sangat keras di depanku, seperti apa yang aku perkirakan. Bagiku, tangisannya merupakan sebuah usaha untuk meluapkan kemarahannya. Keinginan untuk bercerai yang menghantuiku selama beberapa minggu ini semakin teguh dan menguat. Aku ingin Bercerai!

Hari berikutnya, saya pulang terlambat dan melihat istriku menulis sesuatu di meja. Aku tidak mengambil makan malamku dan langsung tidur lelap karena aku lelah setelah seharian bersama Jane. Ketika aku bangin, istriku masih di mejanya. Saya tidak mempedulikannya dan kembali tidur.

Pagi harinya Istriku mengatakan padaku tentang syarat perceraian kami. Dia tidak menginginkan apapun dariku, tetapi dia menginginkan waktu satu bulan sebelum perceraian. Dia meminta, dalam satu bulan itu agar kami melakukan segala sesuatunya seperti biasa, senormal mungkin. Alasannya untuk syarat ini sangat masuk akal. Anak kami sedang menghadai ujian sekolah pada bulan ini, jadi istriku tidak ingin menggangu komsentrasinya dengan permasalahan perceraian kami.

Aku menyetujuinya. Tetapi istriku meminta hal lain, dia memintaku untuk mengingat bagaimana aku menggendongnya dulu di hari pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya seperti di hari pernikahan, membawanya dari kamar tidur kedepan pintu rumah, setiap hari. Aku rasa istriku telah gila. Namun, sekedar untuk membuatnya senang, dan mengatasi rasa bersalahku, aku menerima syaratnya yang aneh itu.

Aku berkata pada Jane atas syarat perceraian yang diajukan oleh istriku. Jane tertawa dan mengatakan bahwa itu adalah hal yang konyol. "Tidak peduli apapun cara yang dia lakukan, dia tetap akan menghadapi perceraian" Kata Jane dengan ketus.

Aku dan istriku tidak pernah bersentuhan sama sekali sejak aku berkata kepadanya tentang "perceraian". Jadi ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami terdengar bertepuk tangan dari belakang dan berkata,"Ayah sedang menggendong ibu!". Wajahnya tampak senang sekali. Kata kata anakku membuatku merasa sedih. Dari Kamar tidur, menuju ruang duduk, kemudian menuju pintu. Aku berjalan sekitar 10 meter dengan mengendong istriku. Dia menutup matanya dan berkata kepadaku dengan lembut,"jangan berkata pada anak kita tentang perceraian ini." Aku mengganguk setuju, walaupun merasa sedikit kecewa. Saya menurunkan istriku diluar pintu. Dia menunggu bis yang menuju ke arah tempat kerjanya. Akupun kemudian menjalankan mobilku menuju kantor.

Di hari kedua, menggendong istriku terasa lebih mudah. Dia bersandar di dadaku. Aku dapat mencium wangi bajunya. Aku menyadari bahwa aku tidak merawat perempuan ini dengan baik dalam waktu sepuluh tahun ini. Aku menyadari bahwa dia tidak muda lagi. Tampak banyak kerutan di wajahnya, rambutnya mulai memutih. Pernikahan inilah yang yang membawanya sampai ke dalam keadaan ini. Selama beberapa menit, aku berfikir atas apa yang telah aku lakukan kepadanya, sampai saat wajahnya memunculkan kerut, samapai rambutnya mulai memutih.

Pada hari kekempat, ketika aku menggendongnya, aku merasakan sebuah keintiman yang perlahan mulai kembali. Ini adalah perempuan yang telah memberikan sepuluh tahun kehidupannya padaku. Pada hari ke enam dan ketujuh, aku merasakan rasa keintiman ini semakain membesar. Aku tidak mengatakan hal ini kepada Jane. Bersamaan dengan berlalunya hari, menggendongnya terasa lebih mudah. Mungkin ini adalah hasil dari "olahraga menggendong" yang perlahan lahan membuat badanku semakin kuat.

Pagi hari itu, Istriku sedang memilih pakaiannya. Dia telah mencoba beberapa pakaian, tetapi tidak dapat menemukan yang cocok. Kemudian dia menghela nafas,"Semua Pakaianku telah menjadi lebih besar." Aku baru menyadari bahwa tubuh istriku kian mengurus. Itulah alasannya kenapa aku bisa menggendongnya dengan mudah. Tida tiba persaan itu menyerangku. Dia telah memendam terlalu banyak kesedihan dan pahitnya hidup bersamaku di hatinya. Tanpa sadar aku mengulurkan tanganku dan mengelus kepalanya. Anak kami masuk ke kamar pada saat itu dan berkata,"Ayah, sekarang waktunya menggendong ibu keluar." Bagi Anakku, melihat pemandangan ayahnya menggendong Ibunya sudah menjadi bagian dari keseharian. Istriku melambai kepada anakku agar mendekat, kemudian memeluknya dengan erat. Aku memalingkan wajah, aku takut pikiranku mengenai "perceraian" akan berubah pada saat-saat terakhir. Kemudian aku mullai menggendongnya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk, ke arah pintu. Tangganya mendekap dibahuku dengan lembut. Aku menggendong tubuhnya dengan erat, sama seperti di hari pernikahan kami dulu.

Tetapi berat tubuhnya yang sangat ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya, aku merasa sangat sulit melangkahkan kaki. Anak kami sudah pergi kesekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata "Aku tidak menyadari bahwa hubungan kita ini kurang memiliki sebuah kekurangan, yaitu keintiman." Aku berangkat ke kantor dan dengan cepat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Aku taku bahwasedikit penundaan bisa saja mengubah pikiranku. Aku berjalan melewati tangga. Jane membuka pintu dan aku berkata kepadanya,"Maaf Jane, aku tidak ingin lagi adanya sebuah Perceraian."

Jane melihat ke arahku, tercenggang, dan menyentuh dahiku."Apakah kamu sakit?" tanya Jane. Aku menyingkirkan tangan Jane dari dahiku. "Maaf Jane,." kataku,"Aku tidak ingin bercerai. Pernikahanku terasa membosankan, mungkin dikarenakan kami kurang menghargai hal-hal kecil dalam kehidupan kami, bukan karena kami tidak mencintai satu sama lain. Aku menyadari, seharusnya, semenjak aku menggendongnya dan membawanya ke rumahku disaat hari pernikahan kami, aku heharusnya tetap melakukannya sampai maut memisahkan kami."

Malam itu, aku tiba dirumah, dengan membawa bunga di tangan, sebuah senyuman di wajahku, berlari ke arah kamar, hanya untuk menemukan istriku terlentang di tempat tidurnya. Mati.

****
Istriku telah bertarung melawan penyakit Kanker yang dideritannya selama berbulan bulan. Aku terlalu sibuk dengan urusan kantor untuk menyadari penyakit istriku. Dia tahu bahwa dia akan segera mati dan dia ingin menyelamatkanku dari segala reaksi negatif dari anak kami jika kami bercerai nantinya. Paling tidak, dimata anak kami,..Aku terlihat sebagai ayah yang baik.  

Pesan Moral : Hal hal kecil dalam kehidupan itu sangat berarti dalam sebuah hubungan. Bukannya Bangunan Mewah, Mobil, Property, dan Uang. Jadi, sempatkanlah waktu untuk pasanganmu, lakukan hal hal kecil untuk untuk menjaga keintiman hubungan. "Selamat berbahagia."

No comments:

Post a Comment

Pacitan Tourism